Pabrik Tumbuh di Lahan Hijau: Bupati Brebes Harus Bertanggung Jawab
Font Terkecil
Font Terbesar
BISNIS NEWS | BREBES — Sudah tiga tahun Bendung Jembat di Sungai Pemali, Desa Pruwatan, Kecamatan Bumiayu, rusak tergerus banjir tanpa ada perbaikan berarti. Akibat kerusakan itu, 148 hektar sawah di kawasan tersebut kini kering, retak, dan gagal tanam.
Padahal bendung ini menjadi sumber utama irigasi bagi empat blok pertanian: Kampung Baru, Talang, Wuru, dan Genteng — kawasan yang selama ini menjadi penopang produksi padi di wilayah selatan Brebes.
Ironinya, di tengah jeritan petani yang kehilangan sumber penghidupan, pemerintah daerah justru gencar meresmikan pabrik dan kawasan perumahan baru yang berdiri megah di atas lahan hijau produktif.
Fenomena ini memperlihatkan ketimpangan arah pembangunan Brebes — antara jargon industrialisasi dan kenyataan lapangan yang justru mengabaikan ketahanan pangan rakyatnya sendiri.
Pembangunan yang Salah Arah
“Ini bukan sekadar masalah bendung rusak. Ini cermin rusaknya tata kelola pembangunan daerah,” tegas Anom Panuluh, Ketua Rumah Rakyat Indonesia Sejahtera, saat ditemui di Brebes, Kamis (10/10/2025).
Menurutnya, selama tiga tahun kerusakan bendung dibiarkan tanpa solusi nyata, petani terpaksa berutang, mengganti pola tanam, namun tetap gagal panen.
Anom menilai, Bupati Brebes gagal menempatkan prioritas pembangunan pada kebutuhan dasar rakyat.
“Infrastruktur irigasi, bendung, dan perlindungan lahan pertanian seharusnya menjadi prioritas utama. Bukan malah sibuk dengan proyek pencitraan dan peresmian pabrik,” ujarnya.
Presiden Prabowo Subianto telah menetapkan ketahanan pangan sebagai program unggulan nasional, namun arah pembangunan di Brebes justru berbalik arah: sawah mengering, industri tumbuh subur.
Lahan Pertanian Menyusut, Izin Bangunan Meluas
Dari hasil pantauan lapangan, di wilayah kota Brebes saja terdapat 13 pengembang perumahan yang mengantongi izin mendirikan bangunan (IMB) di atas lahan hijau produktif.
Selain itu, puluhan hektar lahan pertanian berubah menjadi kawasan industri dan pergudangan tanpa adanya mekanisme penggantian lahan (land replacement) sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.
Padahal, Pasal 44 UU tersebut secara tegas menyebutkan:
“Setiap pejabat yang dengan sengaja memberikan izin alih fungsi lahan pertanian pangan berkelanjutan dapat dikenai sanksi pidana paling lama lima tahun dan denda hingga Rp5 miliar.”
Namun hingga kini, tidak ada satu pun izin yang ditinjau ulang, dan belum ada langkah hukum terhadap dugaan pelanggaran tata ruang yang kian masif ini.
Lemahnya Pengawasan dan Gaya Kepemimpinan yang Serampangan
Anom menilai gaya kepemimpinan Bupati Brebes saat ini serampangan dan tidak berarah.
“Pemerintah daerah tampak kehilangan kompas pembangunan. Lahan hijau dibiarkan berubah fungsi tanpa kontrol RTRW, sementara sawah rusak dibiarkan. Ini bukan sekadar kelalaian, tapi bukti kaburnya visi pembangunan daerah,” ujarnya.
Ketidakseimbangan pembangunan itu telah memicu kekhawatiran luas.
Ketika bendung, irigasi, dan embung tidak dianggap penting, Brebes bukan hanya kehilangan sawah, tetapi kehilangan identitasnya sebagai lumbung pangan Jawa Tengah.
Komitmen Rumah Rakyat dan Ajakan untuk Berani Mengkritik
Menutup pernyataannya, Anom menegaskan bahwa Rumah Rakyat Indonesia Sejahtera akan terus berkomitmen memberikan pengawasan independen terhadap jalannya pembangunan di Brebes.
“Kami tidak akan pernah lelah memberi kritik dan masukan kepada pemerintah Kabupaten Brebes,” ujarnya.
“Hal ini penting, karena kami melihat pemerintahan saat ini nyaris tanpa oposisi yang kompeten. Kami ingin masyarakat berani bersuara, jangan takut mengkritik. Kritik bukan serangan — kritik adalah bentuk cinta terhadap Brebes.”
Anom juga mengingatkan, Bupati Brebes jangan anti kritik dan baperan.
“Kalau semua yang mengingatkan dianggap musuh, maka Brebes akan terus salah arah. Kami justru mengkritik karena kami ingin Brebes maju dan sejahtera.”
Seruan Nasional
Aktivis, petani, dan tokoh masyarakat kini menyerukan tanggung jawab moral dan hukum Bupati Brebes.
Mereka mendesak Kementerian Pertanian dan Kementerian ATR/BPN segera turun tangan untuk menghentikan alih fungsi lahan liar serta mengembalikan keseimbangan tata ruang Brebes.
“Kalau air sudah berhenti mengalir ke sawah, maka air mata rakyatlah yang akan menggantikan,” ujar Anom Panuluh menutup pernyataannya.
“Pemerintah pusat harus turun tangan sebelum Brebes kehilangan tanah suburnya.”
Tanpa air, tidak ada panen. Tanpa sawah, Brebes kehilangan jati diri. Dan bila kebijakan ruang terus dibiarkan liar, masa depan pangan nasional ikut terancam.(*)