BREAKING NEWS

Prabowo Ubah RKP 2025, Begini Respon Pengamat Politik


BISNIS NEWS | JAKARTA — Presiden Prabowo Subianto resmi mengubah Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2025 melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 79 Tahun 2025 tentang Pemutakhiran RKP. 

Perpres ini diteken sejak 30 Juni 2025, namun baru diumumkan ke publik pada akhir pekan lalu.  

Perubahan signifikan terlihat dalam asumsi makro terbaru pemerintah: pertumbuhan ekonomi dipatok tunggal 5,3%, inflasi tetap 2,5% ± 1%, dan kurs rupiah dilebarkan ke Rp16.000–Rp16.900 per dolar AS. 

Padahal, proyeksi Kementerian Keuangan sebelumnya jauh lebih rendah: pertumbuhan 4,7–5%, inflasi 2,2–2,6%, dan kurs Rp16.300–Rp16.800.  

Pengamat Hukum dan Politik, Fredi Moses Ulemlem(15/9), menilai angka-angka tersebut bukan sekadar masalah teknis, melainkan bagian dari politik angka. Target pertumbuhan 5,3% menurutnya dilebih-lebihkan, sementara data Kemenkeu menunjukkan angka lebih rendah. 

"Pemerintah memilih angka yang aman untuk pencitraan, bukan angka yang sesuai kondisi objektif. Rakyat yang akan menanggung beban dari ilusi itu," katanya, pada Selasa (16/9).

Fredi menegaskan, negara sedang menjual mimpi pertumbuhan, padahal struktur ekonomi nasional sangat rapuh. Daya beli rakyat melemah, harga pangan naik, dan ketergantungan impor tetap tinggi. Jika angka ekonomi dijadikan propaganda, legitimasi yang dibangun menjadi semu, bukan kesejahteraan nyata.

Dari perspektif hukum dan politik, implikasinya serius. Rakyat bisa kehilangan kepercayaan ketika target tidak tercapai. Dokumen RKP, yang seharusnya menjadi kontrak sosial, malah berubah menjadi alat retorika. Secara hukum, hal ini bisa dianggap pelanggaran prinsip keterbukaan informasi publik. Secara politik, praktik ini berpotensi mengikis demokrasi karena rakyat disuguhi data yang dipoles.

Fredi juga menyoroti beberapa kajian akademis yang menjelaskan mengapa target pertumbuhan itu sulit dicapai. 

Pertama, ketidakpastian global: lonjakan suku bunga internasional dan konflik geopolitik membuat negara berkembang rentan. 

Kedua, struktur ekonomi nasional: lebih dari 55% PDB bergantung pada konsumsi rumah tangga, namun daya beli rakyat melemah. 

Ketiga, distribusi keadilan: pertumbuhan yang tidak dibarengi pemerataan hanya memperlebar jurang antara elit ekonomi dan rakyat kecil. 

"Pertumbuhan siapa yang dikejar? Petani, buruh, nelayan, atau hanya korporasi besar yang menikmati rente?" tegasnya.

Bahaya terbesar dari RKP yang dipoles angka-angkanya bukan hanya melesetnya target ekonomi, tapi runtuhnya kepercayaan rakyat terhadap pemerintah. 

Menurut Fredi, hal ini bisa melahirkan krisis politik yang jauh lebih mahal ketimbang pelemahan rupiah.

Fredi menekankan bahwa rakyat tidak boleh pasif. Masyarakat sipil, akademisi, dan media harus mengawasi. Pertumbuhan ekonomi bukan sekadar statistik, tapi soal apakah rakyat bisa makan, sekolah, dan hidup layak. Jika diabaikan, pembangunan hanya menjadi proyek elit.

Ia menilai, Perubahan RKP 2025 seharusnya menjadi momentum memperbaiki struktur ekonomi yang timpang. Namun jika hanya berhenti pada permainan angka, dokumen ini justru menunjukkan bagaimana negara semakin menjauh dari rakyatnya. (sa/by)